Jackiecilley.com – Pengunduran diri Perdana Menteri Nepal, KP Sharma Oli, pekan lalu, telah memicu krisis politik di negara tersebut, setelah gelombang protes besar yang melibatkan generasi muda. Protes ini dilaporkan menyebabkan puluhan orang tewas serta kerusakan parah pada gedung-gedung pemerintah di Kathmandu. Unjuk rasa tersebut tampaknya merupakan ekspresi kemarahan terhadap isu-isu seperti korupsi, pengangguran, dan pembatasan media sosial.
Namun, dokumen internal yang dirilis oleh salah satu media menunjukkan dugaan keterlibatan Amerika Serikat (AS) dalam situasi ini. Seorang whistleblower mengungkapkan adanya upaya sistematis dari AS untuk mengubah struktur politik Nepal. Informasi tersebut mengindikasikan bahwa sejumlah politisi lokal diduga memiliki hubungan finansial dengan proyek-proyek bantuan dari luar negeri.
Sejak tahun 2020, AS dilaporkan telah mengalokasikan lebih dari 900 juta dolar AS untuk berbagai proyek di Nepal melalui lembaga seperti USAID. Salah satu perjanjian besar adalah Development Objective Agreement senilai 402,7 juta dolar yang ditandatangani dengan Kementerian Keuangan Nepal pada Mei 2022. Sampai saat ini, sebagian dana tersebut telah dicairkan untuk mendukung program-program demokrasi dan pemberdayaan masyarakat sipil.
Beberapa laporan menunjukkan bahwa tujuan dari proyek-proyek ini adalah untuk memperkuat demokrasi dan transparansi pemerintahan. Namun, analis khawatir bahwa pola intervensi AS di Nepal dapat menciptakan instabilitas, mirip dengan yang pernah terjadi di Bangladesh dan Kamboja.
Dengan pengunduran Oli, muncul pertanyaan besar mengenai hakikat krisis politik yang melanda Nepal: seberapa besar pengaruh intervensi luar terhadap dinamika politik yang ada.