Jackiecilley.com – Indonesia tengah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 8% di tengah ketidakpastian global yang melanda sejumlah negara. Keberanian dalam menetapkan angka ambisius ini dipicu oleh stimulus likuiditas sebesar Rp200 triliun, disertai dengan kembali dihidupkannya konsep ekonomi “Sumitronomics”. Konsep yang berasal dari pemikiran ekonom Sumitro Djojohadikusumo ini diharapkan dapat memberikan arahan baru bagi pertumbuhan ekonomi nasional.
Sejak bulan September 2025, langkah penting diambil oleh Kementerian Keuangan yang kini dipimpin oleh Purbaya Yudhi Sadewa. Stimulus yang diberikan kepada lima bank milik negara ini merupakan respons terhadap pelambatan pertumbuhan kredit yang turun dari 11% di 2024 menjadi 6,7% pada Juli 2025. Hal ini menandakan perlunya tindakan untuk menggenjot kembali aktivitas ekonomi yang melambat.
Kebijakan ini tidak sekadar bertujuan untuk menambah likuiditas. Filosofi dibaliknya, Sumitronomics, mendasarkan diri pada tiga pilar: pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemerataan hasil pembangunan, dan stabilitas nasional. Menariknya, pendekatan ini mengedepankan peran negara sebagai penggerak utama tanpa mengabaikan pentingnya sektor swasta.
Dari sisi teori ekonomi, strategi ini mengadopsi prinsip-prinsip Keynesian, yang menekankan perlunya intervensi negara dalam mengatasi kegagalan mekanisme pasar. John Maynard Keynes menyatakan, permintaan agregat yang lemah sering menjadi penyebab masalah ekonomi. Maka dari itu, intervensi melalui kebijakan fiskal dan moneter diharapkan dapat merangsang permintaan dan menciptakan lapangan kerja.
Namun, target pertumbuhan 8% ini tidak bebas dari risiko. Setiap kebijakan ekspansif memiliki konsekuensi, termasuk potensi inflasi yang dapat membebani masyarakat, seiring meningkatnya likuiditas dan harga barang yang bisa melonjak lebih cepat dari daya beli rakyat. Ke depannya, Indonesia harus berdinamika antara stimulus dan dampak yang dapat ditimbulkan.